PEMBACA BERTANYA . . .
Apa Saja Fakta tentang Natal?
Jutaan orang di seluruh dunia merayakan Natal untuk beragam alasan. Beberapa menikmatinya bersama teman dan keluarga. Ada juga yang mendekatkan diri kepada Allah atau membaktikan waktu mereka untuk membantu orang yang kurang mampu atau yang membutuhkan. Semua alasan itu memang baik. Namun, ada sisi kelam dari perayaan ini.
Pertama, banyak orang percaya bahwa Natal adalah perayaan kelahiran Yesus. Tetapi, banyak sejarawan setuju bahwa tanggal lahir Yesus tidak diketahui. Menurut The Christian Book of Why, ”orang Kristen masa awal tidak mau mengkhususkan suatu tanggal untuk kelahiran Yesus” karena mereka mau ”memisahkan diri dari semua kebiasaan kafir”. Malah, tidak ada catatan dalam Alkitab bahwa Yesus pernah merayakan hari lahirnya sendiri ataupun orang lain. Ia justru memerintahkan para pengikutnya untuk memperingati kematiannya.
Kedua, banyak pakar setuju bahwa kebanyakan tradisi Natal berasal dari kebiasaan non-Kristen dan kafir. Ini termasuk Sinterklas, dan juga memajang daun mistletoe dan pohon Natal, bertukar kado, menyalakan lilin, membakar batang pohon Yule, menggantung hiasan dedaunan, dan menyanyikan lagu-lagu Natal. Buku The Externals of the Catholic Church menyatakan pandangannya tentang kebiasaan-kebiasaan ini, ”Ketika kita memberikan atau menerima hadiah Natal, dan menggantung hiasan dedaunan di rumah dan di gereja, berapa banyak dari kita yang tahu bahwa itu bisa jadi merupakan kebiasaan kafir?”
”Ketika kita memberikan atau menerima hadiah Natal, dan menggantung hiasan dedaunan di rumah dan di gereja, berapa banyak dari kita yang tahu bahwa itu bisa jadi merupakan kebiasaan kafir?”
Tetapi, Anda mungkin bertanya-tanya apa salahnya mengikuti kebiasaan ini yang kelihatannya tidak apa-apa. Coba pikirkan sisi yang ketiga. Allah tidak setuju jika ibadat yang benar dicampur dengan kebiasaan kafir. Hal ini bisa kita ketahui saat Allah Yehuwa memperingatkan umat-Nya yang sulit diatur, bangsa Israel. Melalui nabi Amos, Ia mengatakan, ”Aku membenci, aku telah menolak perayaan-perayaanmu . . . Singkirkan dariku nyanyian-nyanyianmu yang ricuh.”
Mengapa Allah menggunakan kata-kata yang tegas seperti itu? Perhatikan apa yang dilakukan rakyat kerajaan Israel kuno di utara. Raja pertama mereka, Yeroboam, menaruh patung anak lembu emas di kota Dan serta Betel. Ia membujuk rakyatnya untuk menyembah patung itu dan bukannya menyembah Allah Yehuwa di tempat yang semestinya, yaitu bait di Yerusalem. Raja itu juga menetapkan perayaan-perayaan dan mengangkat imam-imam agar rakyat bisa mengikuti perayaan-perayaan itu.
Yang dilakukan bangsa Israel kelihatannya baik. Lagi pula, bukankah bagi mereka, semua hal tadi dilakukan demi menyembah Allah dan menyenangkan Dia? Tetapi, kata-kata tegas yang disampaikan melalui Amos dan nabi-nabi lainnya jelas menunjukkan bagaimana perasaan Allah terhadap kebiasaan-kebiasaan itu. Melalui nabi Maleakhi, Allah mengatakan, ”Akulah Yehuwa; aku belum berubah.” (Maleakhi 3:6) Dari kata-kata itu, bukankah jelas bagi kita bagaimana perasaan Allah terhadap banyaknya perayaan Natal dewasa ini?
Setelah mempertimbangkan semua fakta di atas, jutaan orang memutuskan untuk tidak merayakan Natal. Sekalipun begitu, mereka tetap senang dan benar-benar puas karena bisa berkumpul bersama teman serta keluarga dan membantu yang kurang mampu dan yang membutuhkan kapan pun mereka mau sepanjang tahun.